Surabaya, 11 September 2009
06.00 WIB
@home, kalidami sunyi lepas sahur dan shubuh.
Jengkel, rekasi pertama. Selanjutnya mau marah, tapi ga tega. Setelah berpikir lagi, merasa dipermainkan dan tidak dihormati. Jadi pengen marah-marah lagi. Tapi merasa tak ada gunanya. Apa kemarahanku penting buat mereka yang tidak menganggap penting janji dengan diriku?
Lalu muncul pertanyaan, bagaimana bisa begini? Apa merasa tak punya janji? Lha, wong kita sudah sepakat untuk ketemu tanggal 11 jam 11. Apa kesepakatan itu bukan janji? Kesepakatan, janji, kontrak, itu semua kan sinonim. Lalu apa yang terjadi?
Lupa? Mungkin iya, lupa itu manusiawi. Tapi manusia yang terlalu sering lupa menunjukkan ada sesuatu yang tak beres dengan dirinya. Lupa jadi alasan yang diulang-ulang. Bahkan tak bisa mengingat apa yang dilakukannya kemarin. Kesimpulannya, kalau lupa sudah menjadi bagian hidupmu, kamu harus periksakan diri ke ahli kejiwaan. Apa itu masalahnya?
Haaah… jengkel. Merasa tidak punya cukup kesabaran dan pengendalian diri untuk mengungkapkan kejengkelan secara langsung. Kuatirnya ketika bicara langsung, aku kehilangan poin yang ingin disampaikan. Kuatirnya emosi akan mengalahkan logika. Karena dalam kemarahan setan akan mendorong kita melakukan lebih dari yang pantas. Apa yang harus aku lakukan?
Marahlah kalau itu membuat keadaan jadi lebih baik. Tapi harus marah sama siapa? Bahkan untuk memarahi aku harus membuat janji ketemu mereka, trus kalau diingkari lagi? Duh…. susahnya. Lha kapan dong marahnya?
Bicara langsung memang kelemahanku, tulisan lebih menjadi gayaku menyampaikan maksud. Dibaca ga ya? Cuma Tuhan yang tahu.
Adik-adikku… Rasulullah SAW sangat tinggi memandang sebuah janji. Janji adalah hutang, demikian sabda beliau. Hutang yang harus dilunasi dan tidak akan diputihkan bahkan ketika maut telah mengambil kemampuan kita memenuhi janji itu. Sehingga setiap acara pemakaman secara Islam, akan selalu ditanyakan apakah almarhum atau almarhumah memiliki janji atau hutang yang belum dipenuhi, dan ahli warisnya wajib mengambil alih janji tersebut sehingga yang bersangkutan tidak akan dituntut di Hari Perhitungan kelak.
Memenuhi janji bahkan menjadi pembeda antara yang muslim dan yang munafik. Tapi kita sering lupa akan hal ini ketika kita membatalkan janji dengan mudahnya. Dan dengan demikian masuklah kita ke dalam golongan yang dimurkai dan dipandang rendah.
Pengelolaan waktu yang baik, organizer / agenda entah dalam bentuk buku atau elektronik, reminder di telepon seluler, punya dan lihat kalender, semua itu hal-hal yang akan dengan mudah menghindarkan kita dari kemurkaan Allah dan orang-orang di sekitar kita. Kuncinya hanyalah rajin mencatat dan membaca catatan janji kita. Kemudian prioritaskan janji yang lebih dulu dibuat. Jangan karena orang yang satu lebih galak dari yang lain lalu didahulukan, yang lain dibatalkan. Janganlah kedudukan seseorang atau kedekatannya dengan kita, menjadi pertimbangan dalam memprioritaskan janji. Dalam berjanji, mana yang lebih dulu itulah yang prioritas. Orang-orang yang juga menghargai sebuah janji tidak akan keberatan jika kita memprioritaskan janji yang lebih dulu dibuat, karena mereka juga melakukan hal yang sama.
Manusia dinilai dari kesesuaian kata dan tindakannya. Semakin sesuai, semakin tinggi nilainya. Maka semakin ia dihargai, dihormati dan dipercaya. Stephen Covey menyebutnya integritas. Integritas tidak didapat dengan mudah, ia dibangun dengan susah payah dalam waktu yang lama. Ironisnya integritas bisa hilang dengan mudah, semudah lidah kita mengucapkan pembatalan janji.
Hidup itu penuh pilihan yang harus diambil, hanya manusia sering tidak berpikir ketika memilih melakukan sesuatu. Adalah akumulasi dari pilihan hidup kita menjadikan diri kita sebagai apa adanya saatnya ini. Masih ada waktu selama nafas masih berhembus, pilihan apa yang akan kita ambil selanjutnya. Pilihan yang benar, atau yang mudah? Hidup dengan integritas, atau lenyap tanpa makna?
Saat ini ada kesedihan yang menyeruak, menyerukan harapan yang entah akan terwujud atau tidak: demi kebaikan, pilihlah yang benar, adikku….