Halaman

Minggu, 13 Mei 2012

Cerita Jaman Dulu

Malam itu agenda kami sebenarnya adalah sarasehan bersama para pembina pramuka di gugus depan kami, terkait dengan pola pembinaan penegak pandega di perguruan tinggi. Undangan jam 7 lebih 15 menit malam itu di kediaman salah seorang kakak pembina yang dulu menjadi pembina pandega saya. Seorang teman, sepantaran adik suami saya, hadir pertama mendahului saya dan suami. Tak lama kemudian, datanglah dua orang pembina super senior di antara kami. Tuan rumah keluar menyambut tamu-tamu istimewa ini. Dan saya mengikuti dengan asyik obrolan mereka. 

Istilah super senior tadi bisa dijelaskan sebagai berikut. Gugus depan gerakan pramuka kami, yang berpangkalan di perguruan tinggi, resmi berdiri tahun 1983. Dan pembina-pembina yang tengah berbincang di hadapan saya adalah para pencetus dan pendiri gugus depan kami. Yang dua orang kini telah bergelar profesor. Yang seorang adalah seorang anggota direksi sebuah kontraktor besar. Nyonya rumah sudah berhenti dari kesibukannya sebagai dosen, namun masih asyik dengan aktivitasnya mengurus TK dan anak bungsunya yang sebentar lagi akan duduk di bangku kuliah. Jadi rata-rata anak beliau-beliau ini sudah dewasa, ada yang sudah menikah dan memiliki anak mereka sendiri.

Dan entah dari mana awalnya, kami lalu mulai bicara tentang perubahan anak-anak muda sekarang ini. Oh iya, saya ingat. Ketika itu si bungsu datang membantu sang ibu membawa sajian. Si bungsu yang sejak kecil sudah akrab dengan kegiatan kami, tentunya sudah mengenal para tamu yang juga teman-teman dekat orang tuanya. Tapi usai meletakkan nampan di atas meja, ia hendak kembali ke 'dunia'nya (yah, saya kan tidak tahu dia tadinya sedang apa, sebelum dipanggil sang ibu). Sang ayah menegur, ayo salaman dulu dong dengan pakdhe, budhe, tante... Tersenyum malu, dia menyalami kami semua lalu langsung masuk ke dalam.
Gitu itu anak sekarang, komentar sang ayah. Si ibu tertawa lalu bercerita, dulu dia pernah bicara dengan ayahnya, Pak, ayo mangan dhisik. Kontan ayah ibunya ketika itu tertawa terbahak-bahak. Saya cuma bilang, Dek, yang bisa mangan itu wedhus, sang ayah melengkapi cerita. Dan si adek cuma bengong, tak mengerti maksud kedua orang tuanya. 
Dalam bahasa jawa, memang ada tataran bahasa kasar, halus, hingga haluuuus sekali. Lha, si adik yang tak mengerti penggunaan bahasa, bicara dengan orang yang harus dihormati dengan menggunakan bahasa yang tingkatannya untuk teman sebaya, atau yang lebih rendah.
Tapi, memang itu salah kita sendiri, sahut kakak pembina saya yang lain. Kita tidak pernah membiasakan atau memberi contoh. Bahasa sehari-hari di rumah adalah bahasa Indonesia. Di luaran si anak berbahasa jawa, tapi bahasa jawa sehari-hari yang ngoko. Jadi harapan kita supaya mereka bisa berbahasa halus, ya tidak mungkin tercapai.

Menantu perempuan saya, lanjutnya, pernah disuruh makan oleh istri saya. Jawabnya, masih kenyang bu, nanti saja. Padahal jaman dulu, mana berani istri saya menolak kalau disuruh ibu saya. Biarpun sudah makan, ya tetap makan lagi. Melawan perintah orang tua yang dihormati? Terpikir pun tidak.
Tapi itu bukan karena dia bermaksud tidak sopan, lho. Hanya sekarang ini di jamannya mereka, mengungkapkan pendapat memang lebih bebas dibanding jaman kita-kita dulu. Menurut mereka, itu sopan-sopan saja.

Misalnya saja ternyata di antara teman-teman anak-anak saya, saling memakai barang milik temannya itu hal biasa. Bahkan tanpa minta izin sebelumnya. Kembalinya juga tidak dalam keadaan bersih dan wangi, habis dipakai ya langsung saja dikembalikan. Masalahnya, suatu hari yang dipakai teman anak saya, adalah sepatu saya. 
Wah, kami semua spontan terbahak. 

Kok, temanmu pakai sepatu bapak, mas? 
Tadi sudah bilang ke saya, pak.
Lha, itu kan sepatu bapak.
Ah, masa gitu aja pakai ngomong bapak.

Kami semakin terbahak-bahak. 
Lha iya, unggah-ungguhnya anak sekarang itu, sudah jauh dari jaman kita dulu, timpal ibu profesor di sebelah saya. Kalau pakai standar jaman dulu, bisa-bisa saya sakit hati setiap hari. Lha wong, mahasiswa asistensi tugas kok tidak bawa bolpoin, atau pensil sekalipun. Mau mencatat tolah-toleh, tahu-tahu mau menyambar pensil di tangan saya. Aduh, sampai kaget saya! Mau apa kamu? Langsung saya tanya begitu. 

Bapak profesor menambahkan, Yah, memang mereka di rumah tidak dibiasakan sopan santun. Di masyarakat juga dibiarkan saja. Tidak ada fungsi kontrol lagi, akhirnya jadi kebiasaan.

Sementara beliau bicara, anak saya yang berumur 5,5 tahun berjalan mondar-mandir menginspeksi setiap isi toples. Waduh, ini dia muncul contohnya, batin saya. Hayooo, nak. Mari duduk sama ibu. Si 5 tahun melengos dan beranjak pergi. Hehehe... 
Biarkan saja, kata kakak pembina saya, namanya juga anak aktif.

Sambil meringis, saya jadi berpikir, apa karena pendidikan sekarang lebih mengerti karakter anak yang aktif dan suka bereksplorasi, akhirnya standar sopan santun juga diturunkan dan lebih permisif. Terkadang terlalu permisif hingga tak lagi ada batasan. Yang penting anaknya cerdas, kreatif, pintar. Tapi akhirnya juga jadi pintar membantah, kreatif mencari cara melingkari aturan.

Saya tidak ingin anak saya seperti itu. Kadang si kecil bertanya, temanku boleh begini, mengapa aku tidak? Terkadang saya kuatir, apa saya dan suami menuntut standar perilaku yang terlalu tinggi dari si kecil kami? Hm, sepertinya harus ada perangkat ukur supaya kita sebagai orang tua bisa menyeimbangkan antara memberi ruang berekspresi dan mengajari sopan santun. Atau bagaimana menjaga kebebasan anak untuk belajar tapi tetap memiliki etika.

Apa ya itu? Ah, sementara hanya ini yang ada di otak saya. Nanti ketika lapar ini sudah hilang, mungkin ilham akan datang bersama nutrisi makan siang saya.