Halaman

Senin, 25 Oktober 2010

Tua = Dewasa?

Satu hal dari sekian banyak yang saya pelajari di kehidupan saya di racana (baca : pramuka), adalah kenyataan bahwa kedewasaan itu tidak berbanding lurus dengan usia. Ketika itu, dalam menghadapi konflik dalam sebuah organisasi saya mampu bersikap lebih dewasa dan menyampaikan perasaan saya tanpa sikap emosional. Dan pada akhirnya mencapai sebuah perdamaian dan kembalinya suasana pertemanan seperti sebelumnya.

Saya sempat merasa heran, kenapa senior saya tidak bisa bersikap dewasa? Mengapa harus seperti kanak-kanak yang berhenti bicara satu sama lain kalau bertengkar? Sementara saya berada dalam gelapnya ketidaktahuan tentang apa sebenarnya salah saya padanya. Dari seorang teman, saya mendapati sebuah kesalahpahaman yang sangat sederhana bagi saya, namun mungkin menyakitkan bagi orang yang tidak berpikir dewasa. Cukup menyakitkan baginya hingga ia berhenti berkomunikasi dengan saya dan beberapa teman lainnya.

Ketika itu, saya merasa tidak bisa hidup dengan permusuhan sepihak ini. Mungkin saya termasuk plegmatis  dominan ya. Maka saya putuskan untuk minta maaf, walaupun saya sebenarnya tidak merasa bersalah. Tapi ya, namanya salah dan benar itu kan relatif. Walau ga sengaja dan ga bermaksud, kalau nginjek kaki orang pastilah minta maaf, kan. Apalagi kalo orangnya sampai loncat-loncat sambil mengaduh-aduh, hehe...

Terus terang, ketika itu saya merasa mencapai level baru dari pendewasaan diri saya. Mencoba mengalahkan ego untuk mencapai tujuan yang lebih besar, kebersamaan dan kerukunan di sanggar. Sehingga kami bersama-sama dapat membina diri dengan nyaman. Bagi saya yang sebenarnya juga sangat individualis, ini sebuah prestasi.

Kehidupan beregu dalam gerakan kepanduan adalah sebuah miniatur kehidupan bermasyarakat. Ada pemimpin dan yang dipimpin. Ada yang masalah organisasi dan masalah pribadi. Ada yang lebih dulu matang dan ada belajar untuk lebih dewasa. Berkumpulnya individu dalam suatu kumpulan pastilah akan menimbulkan konflik. Kalau ga ada konflik, berarti tidak pernah ada interaksi. Dan kalau tidak ingin berkonflik, ya tinggal aja di hutan terpencil yang ga pernah ketemu orang... Pilihan lain yang lebih dekat, masuk kamar jangan keluar kecuali untuk pipis dan makan, hehehe, maaf....

Di gerakan pramuka, sejak usia 7 tahun kita sudah ditempatkan dalam barung, hingga di level terakhirnya, Pandega (21-25 tahun) dalam sebuah kelompok besar bernama racana. Memang tak semua pramuka bergabung sejak siaga. Ada yang baru bergabung ketika usianya sudah 21 tahun. Sehingga waktu adaptasinya dengan kehidupan berkelompok yang intens, seperti pramuka ini,pun menjadi lebih panjang. Tapi sebagai level terakhir pramuka, perlu disadari bahwa inilah kesempatan terakhir untuk berlatih, sebelum akhirnya terjun ke dunia orang dewasa yang sebenarnya. Dan waktu terus berjalan.

Marilah kita mengambil jeda dalam kesibukan kita berkegiatan, mungkin setiap tiga bulan, atau per bulan, per minggu. Agar kita sempat merenung tentang apa yang kita hadapi dan cara kita menghadapinya. Apakah sudah baik, apa sudah yang terbaik? Masihkah ada jalan memperbaiki?

Dengan demikian kita tidak terlena dan menyia-nyiakan waktu yang berharga ini dengan berlama-lama sakit hati, jengkel, atau dengan kesenangan yang sifatnya sementara.

Kalau kita terbiasa lari dan menghindari dari penyelesaian konflik, maka itulah yang akan selalu kita lakukan. Tapi lari itu melelahkan dan suatu saat kita akan kehabisan tenaga, tak mampu lagi untuk lari. Sementara konfliknya terlalu besar untuk kita atasi.

Kalau kita sudah pernah berhasil menyelesaikan satu konflik, pastilah kita akan semakin pintar melakukannya lagi. Karena konflik itu akan selalu ada dalam kehidupan kita.

Belajar menyelesaikan konflik-konflik kecil dalam kehidupan kita di organisasi atau di mana pun.

Jangan pergi menghindarinya.

Sehingga ketika menghadapi konflik besar, kita sudah punya ilmu & pengalaman menghadapinya.


Be prepared.
Create a better world.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar